Apakah Materai Menjadi Penentu Sahnya Sebuah Perjanjian?
- SIM NEWS
- Dec 15, 2022
- 4 min read
Oleh : Vinesia, S.H.

Berkas materai 10000.jpg.│Sumber: bppbj.jakarta.go.id
Pengantar
Pada umumnya, ketika akan menjalankan sebuah bisnis atau melakukan rutinitas pekerjaan sehari-hari, pasti kita sering dimintai untuk membuat suatu perjanjian. Salah satu contoh yaitu perjanjian bisnis seperti, sewa-menyewa, jual-beli, pinjam-meminjam, atau jenis lainnya. Perjanjian dibuat sebagai bukti bahwa telah terjadi kesepakatan antara kita dan rekan bisnis atau pihak perusahaan.
Perjanjian juga dikenal dengan akta. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta tentunya harus ditanda tangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Dalam KUHPerdata dijelaskan ketentuan mengenai akta yang diatur di dalam Pasal 1867 sampai Pasal 1880.
Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata menjelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/ atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, tempat dimana akta atau perjanjian dibuat. Pejabat pegawai umum yaitu seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik juga merupakan bukti yang mengikat, yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
Sedangkan Akta Di Bawah Tangan merupakan perjanjian yang dibuat para pihak tanpa adanya campur tangan pejabat umum dan peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Dasar Hukum Perjanjian Dalam Syarat Sah Suatu Perjanjian
Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam perjanjian tersebut termuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Kalau Undang-Undang harus ditaati semua warga negara, perjanjian ditaati pihak yang bersepakat. Selain untuk pengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian juga memiliki fungsi sebagai alat bukti yang sah untuk menyelesaikan sengketa.
Dasar Hukum
Di Indonesia mengenai dasar hukum perjanjian banyak memuat, termasuk syarat sah perjanjian. Salah satunya Pasal 1313 KUHPerdata mengenai pengertian perjanjian.
Sementara untuk syarat sah perjanjian dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berdasarkan pasal tersebut, kesepakatan harus memenuhi empat syarat agar bisa sah menjadi perjanjian, di antaranya:
kesepakatan,
kecakapan,
objek,
halal.
Syarat Sah Perjanjian Yang Wajib Dipenuhi
Dalam praktiknya, perjanjian memiliki sejumlah syarat supaya dianggap sah secara hukum. Syarat sah perjanjian itu diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1320. Syarat-syarat sah tersebut, antara lain:
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Suatu hal tertentu.
Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan dengan para subjek yang membuat perjanjian.
Sementara itu, syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena berkaitan dengan objek dalam perjanjian.
Apakah Materai Menentukan Sahnya Perjanjian?
Fungsi Materai
Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata, maka dikenakan atas dokumen tersebut bea materai.
Fungsi dari bea materai ialah untuk memberi kekuatan hukum jika ada subjek atau pihak yang membuat dokumen dari pihak-pihak lain yang terkait. Adapun beberapa subjek yang bisa dikenakan atas fungsi bea materai adalah sebagai berikut.
Pihak penerima atau pihak yang mendapatkan manfaat maupun keuntungan dari dokumen, kecuali pihak yang bersangkutan menciptakan suatu kondisi yang berbeda.
Apabila sebuah dokumen hanya dibuat bagi satu pihak, maka meterai tersebut hanya memiliki satu subjek saja.
Jika sebuah dokumen dibuat untuk kepentingan dua pihak atau lebih seperti surat perjanjian atau yang lainnya, maka tiap-tiap pihak akan terutang bea meterai.
Objek Materai
1. Bea Materai dikenakan atas :
a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata;
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
2. Dokumen yang bersifat perdata, meliputi :
a. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
b. Akta notaries beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
c. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
f. Dokumen lelang minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, grosse risalah lelang;
g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp. 5.000.000.00 (lima juta rupiah) yang:
· Menyebutkan penerimaan uang; atau
· Berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (contohnya ialah perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) ersebut tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi syarat sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan karena ada tidaknya sebuah materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Kesimpulan
Kerap kali para pihak selalu membubuhkan materai diatasnya dengan beranggapan bahwa surat perjanjian yang ditandatangani di atas meterai menandakan bahwa perjanjian tersebut sah secara hukum. Padahal, suatu perjanjian sah atau tidaknya tidak ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya meterai. Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Namun agar surat tersebut bisa dipergunakan di pengadilan untuk menjadi alat bukti, maka surat tersebut harus memenuhi syarat administratif yaitu melunasi Bea Materai nya.
Comments